Bersalaman sehabis sholat

Bersalaman sehabis sholat adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam islam karena bisa dan dapat persaudaraan sesama umat. Hal ini sama sekali tidak merusak sholat karena dilakukan setelah sholat sempurna selesai, bersalaman sesudah shalat juga merupakan fenomena umum shalat berjama’ah di masjid-masjid negeri ini. Ketika imam selesai salam yang diikuti makmum, segera ia menghadap ke makmum dan menjabat tangan mereka. Kemudian para makmum saling bersalaman dengan orang yang di sebelah kanan dan kirinya, dan sering ditambah orang yang di depan dan di belakangnya. Bahkan sering orang yang selesai melaksanakan sunnah juga menyalami (menjabat tangan) kawan yang duduk di sampingnya, walaupun sudah bertemu dan bertegur sapa sebelum shalat.

B. Anjuran Bersalaman

Pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh), bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan. 

Keutamaan salaman telah diriwayatkan oleh beberapa hadits. Salah satunya hadits Hudzaifah bin al Yaman, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan gugurlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. al-Thabrani di dalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan di dalam “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika di antara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”)

Dari Salman al Farisi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan gugur sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. al-Thabrani dengan sanad hasan)

Diriwayatkan juga dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنِ اْلبَرَّاءِ عَنْ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Dawud, 4343).

Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari 4156).

Diriwayatkan dari Qatadah, ”Aku berkata kepada Anas bin Malik, ’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wasallam,” Anas menjawab, ”Ya”. (HR. Bukhari dan Tirmidzi)

Hadits-hadits keutamaan salaman di atas menerangkan bahwa salaman yang dianjurkan adalah dilaksanakan pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya. Dan menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu. Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).

C.Mengkhususkan Salaman Setelah Shalat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tentunya sangat memahami keutamaan salaman. Namun, tidak didapatkan satu riwayatpun bahwa mereka menghususkan bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunnah. Berarti bersalaman sesudah shalat tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin. Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.

Syaikh Abdullah Al Jibrin mengatakan, “Banyak orang shalat menjulurkan tangannya  untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya yang dilakukan setelah selesai salam dari shalat wajib, perbuatan ini adalah bid’ah tidak diriwayatkan dari salaf.”

Al-‘Izz bin Abdissalam berkata, “Berjabat tangan sesudah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang dan berkumpul bersama orang-orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyari’atkan ketika baru datang. Setelah shalat, Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam membaca dzikir yang disyariatkan, membaca istighfar tiga kali, lalu bubar.Ini yang terjadi pada zaman Al ‘Izz bin Abdissalam, sedangkan pada zaman kita bersalaman pada setiap shalat yang lima waktu dan setelah shalat-shalat sunnah.

Setidaknya ada dua kesalahan yang sering terjadi pada zaman sekarang ini. Pertama, para jama’ah tidak mengucapkan salam dan bersalaman ketika memasuki masjid dan berjumpa dengan saudaranya. Biasanya mereka langsung masuk dan melaksanakan shalat sunnah, kemudian shalat fardhu. Kedua, mereka berjabat tangan tepat setelah selesai shalat, padahal disyariatkannya pada saat bertemu.

Intinya, bahwa berjabat tangan itu baik, jika dilakukan di saat bertemu. Adapun seusai shalat, tidak ada hadits yang menerangkannya. Padahal suatu ibadah (yang dilazimi) itu harus ada dalil yang memerintahkannya. Jika tidak ada, maka tertolak dan tidak boleh diamalkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalnya tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radliyallah ‘anha)

Berdasarkan hadits di atas, Imam Bukhari membuat bab dalam shahihnya, “Apabila seorang yang beramal atau seorang hakim berijtihad, lalu salah karena menyelisihi Rasul tanpa didasari ilmu, maka hukumnya tersebut tertolak”. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat satu atau dua orang ulama tidaklah menjadi wahyu baru yang mengandung kebenaran mutlak. Pendapat mereka bisa benar dan salah, bisa diterima dan ditolak, setelah ditimbang dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dan jika salah dan menyelisihi sunnah harus ditinggalkan. Terlebih lagi, bahwa bersalaman sesudah shalat adalah tradisi kaum Syi’ah yang suka merubah-rubah ajaran Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kesalahan lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau dzikir saudara muslim. Sedangkan memotong dzikir tidak diperbolehkan kecuali dengan sebab-sebab syar’i. Namun, kenyataannya sering kita saksikan banyak orang yang mengganggu dzikir saudarnya dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Larangan ini bukan semata-mata karena menjabat tangannya, namun juga karena terpotongnya dzikir dan kesibukan mengingat Allah Ta’ala.

Kapan Bersalaman Sesudah Shalat Dibolehkan?

Mengkhususkan salaman sesudah shalat tidak ada sunnahnya. Karenanya tidak boleh dijadikan aktifitas rutin dalam rangkaian shalat sehinga terkesan memiliki keutamaan yang lebih. Namun, jika seseorang tidak sempat bersalaman dengan saudaranya sebelum shalat, maka dibolehkan dilakukan sesudah salam atau sesudah dzikir. Bersalaman seperti ini bukan karena takhsis (menghususkan atau mengistimewakan) waktu sesudah salam untuk salaman. Tapi karena bertemu dengan kawan yang belum sempat berucap salam dan berjabat tangan.

Fatwa Syaikh Ibn Bazz

Syaikh Ibn Baaz rahimahullah mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff. Dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.

Apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan. (Ibnu Bazz)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua, maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah melaksanakan shalat fardhunya.

Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, juz XI, hal. 267).

 

.Pendapat para ulama

  1. A.    Ulama yang setuju dengan bersalaman setelah sholat

Imam al-Thahawi.

تُطْلَبُ اْلمُصَافحَة فَهِيَ سُنَّة عَقِبَ الصَّلاةِ كُلّهَا وَعِندَ كلِّ لَقِيٍّ

Artinya: Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunah dan begitu juga setiap berjumpa dengan sesama Muslim.

Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:

إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ

                “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan  jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan  setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam    agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut – Libanon)

 

 Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:

Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ

كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ

 “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360,  Ad Darimi No. 1367, Ahmad No.  17476)

                Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;

 ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه

            “Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah  melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika  persentuhannya itu memiliki tujuan baik,  berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.”   (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah)

 Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:

( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا

(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?

(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak  mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)

  1. Ulama yang membid’ahkan bersalaman setelah sholat

Imam Izzuddin bin Abdissalam
Beliau berkata :

اَنَّهَا مِنَ اْلبِدَعِ المُبَاحَةِ
Artinya : (Mushafahah setelah shalat) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan.

 

  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)

Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:

وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟

فأجاب :

الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .

 

Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?

Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339)

Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi lima; bid’ah  yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman berjamaah   dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat

  Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)

Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun  bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:

والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….

“Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah)

Bersalaman sehabis Sholat

A.Latar belakang

Bersalaman sehabis sholat adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam islam karena bisa dan dapat persaudaraan sesama umat. Hal ini sama sekali tidak merusak sholat karena dilakukan setelah sholat sempurna selesai, bersalaman sesudah shalat juga merupakan fenomena umum shalat berjama’ah di masjid-masjid negeri ini. Ketika imam selesai salam yang diikuti makmum, segera ia menghadap ke makmum dan menjabat tangan mereka. Kemudian para makmum saling bersalaman dengan orang yang di sebelah kanan dan kirinya, dan sering ditambah orang yang di depan dan di belakangnya. Bahkan sering orang yang selesai melaksanakan sunnah juga menyalami (menjabat tangan) kawan yang duduk di sampingnya, walaupun sudah bertemu dan bertegur sapa sebelum shalat.

B. Anjuran Bersalaman

Pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh), bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan. 

Keutamaan salaman telah diriwayatkan oleh beberapa hadits. Salah satunya hadits Hudzaifah bin al Yaman, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan gugurlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. al-Thabrani di dalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan di dalam “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika di antara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”)

Dari Salman al Farisi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan gugur sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. al-Thabrani dengan sanad hasan)

Diriwayatkan juga dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنِ اْلبَرَّاءِ عَنْ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Dawud, 4343).

Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari 4156).

Diriwayatkan dari Qatadah, ”Aku berkata kepada Anas bin Malik, ’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wasallam,” Anas menjawab, ”Ya”. (HR. Bukhari dan Tirmidzi)

Hadits-hadits keutamaan salaman di atas menerangkan bahwa salaman yang dianjurkan adalah dilaksanakan pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya. Dan menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu. Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).

C.Mengkhususkan Salaman Setelah Shalat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tentunya sangat memahami keutamaan salaman. Namun, tidak didapatkan satu riwayatpun bahwa mereka menghususkan bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunnah. Berarti bersalaman sesudah shalat tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin. Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.

Syaikh Abdullah Al Jibrin mengatakan, “Banyak orang shalat menjulurkan tangannya  untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya yang dilakukan setelah selesai salam dari shalat wajib, perbuatan ini adalah bid’ah tidak diriwayatkan dari salaf.”

Al-‘Izz bin Abdissalam berkata, “Berjabat tangan sesudah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang dan berkumpul bersama orang-orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyari’atkan ketika baru datang. Setelah shalat, Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam membaca dzikir yang disyariatkan, membaca istighfar tiga kali, lalu bubar.Ini yang terjadi pada zaman Al ‘Izz bin Abdissalam, sedangkan pada zaman kita bersalaman pada setiap shalat yang lima waktu dan setelah shalat-shalat sunnah.

Setidaknya ada dua kesalahan yang sering terjadi pada zaman sekarang ini. Pertama, para jama’ah tidak mengucapkan salam dan bersalaman ketika memasuki masjid dan berjumpa dengan saudaranya. Biasanya mereka langsung masuk dan melaksanakan shalat sunnah, kemudian shalat fardhu. Kedua, mereka berjabat tangan tepat setelah selesai shalat, padahal disyariatkannya pada saat bertemu.

Intinya, bahwa berjabat tangan itu baik, jika dilakukan di saat bertemu. Adapun seusai shalat, tidak ada hadits yang menerangkannya. Padahal suatu ibadah (yang dilazimi) itu harus ada dalil yang memerintahkannya. Jika tidak ada, maka tertolak dan tidak boleh diamalkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalnya tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radliyallah ‘anha)

Berdasarkan hadits di atas, Imam Bukhari membuat bab dalam shahihnya, “Apabila seorang yang beramal atau seorang hakim berijtihad, lalu salah karena menyelisihi Rasul tanpa didasari ilmu, maka hukumnya tersebut tertolak”. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat satu atau dua orang ulama tidaklah menjadi wahyu baru yang mengandung kebenaran mutlak. Pendapat mereka bisa benar dan salah, bisa diterima dan ditolak, setelah ditimbang dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dan jika salah dan menyelisihi sunnah harus ditinggalkan. Terlebih lagi, bahwa bersalaman sesudah shalat adalah tradisi kaum Syi’ah yang suka merubah-rubah ajaran Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kesalahan lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau dzikir saudara muslim. Sedangkan memotong dzikir tidak diperbolehkan kecuali dengan sebab-sebab syar’i. Namun, kenyataannya sering kita saksikan banyak orang yang mengganggu dzikir saudarnya dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Larangan ini bukan semata-mata karena menjabat tangannya, namun juga karena terpotongnya dzikir dan kesibukan mengingat Allah Ta’ala.

Kapan Bersalaman Sesudah Shalat Dibolehkan?

Mengkhususkan salaman sesudah shalat tidak ada sunnahnya. Karenanya tidak boleh dijadikan aktifitas rutin dalam rangkaian shalat sehinga terkesan memiliki keutamaan yang lebih. Namun, jika seseorang tidak sempat bersalaman dengan saudaranya sebelum shalat, maka dibolehkan dilakukan sesudah salam atau sesudah dzikir. Bersalaman seperti ini bukan karena takhsis (menghususkan atau mengistimewakan) waktu sesudah salam untuk salaman. Tapi karena bertemu dengan kawan yang belum sempat berucap salam dan berjabat tangan.

Fatwa Syaikh Ibn Bazz

Syaikh Ibn Baaz rahimahullah mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff. Dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.

Apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan. (Ibnu Bazz)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua, maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah melaksanakan shalat fardhunya.

Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, juz XI, hal. 267).

 

.Pendapat para ulama

  1. A.    Ulama yang setuju dengan bersalaman setelah sholat

Imam al-Thahawi.

تُطْلَبُ اْلمُصَافحَة فَهِيَ سُنَّة عَقِبَ الصَّلاةِ كُلّهَا وَعِندَ كلِّ لَقِيٍّ

Artinya: Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunah dan begitu juga setiap berjumpa dengan sesama Muslim.

Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:

إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ

                “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan  jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan  setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam    agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut – Libanon)

 

 Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:

Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ

كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ

 “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360,  Ad Darimi No. 1367, Ahmad No.  17476)

                Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;

 ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه

            “Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah  melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika  persentuhannya itu memiliki tujuan baik,  berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.”   (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah)

 Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:

( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا

(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?

(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak  mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)

  1. Ulama yang membid’ahkan bersalaman setelah sholat

Imam Izzuddin bin Abdissalam
Beliau berkata :

اَنَّهَا مِنَ اْلبِدَعِ المُبَاحَةِ
Artinya : (Mushafahah setelah shalat) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan.

 

  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)

Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:

وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟

فأجاب :

الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .

 

Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?

Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339)

Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi lima; bid’ah  yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman berjamaah   dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat.

……………..

 Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)

Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun  bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:

والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….

“Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah)

 

 

 

file:///D:/makalah/hadis/Mendudukkan%20Hukum%20Bersalaman%20Sesudah%20Shalat.htm

http://hadikurnia09.student.ipb.ac.id/2011/06/11/hukum-bersalaman-sesudah-shalat/

file:///D:/makalah/hadis/H.R.%20Bukhari,%20hadits%20ke%203360%20%20%20sahabat%20bersalaman%20%20%20berjabat%20tangan%20setelah%20shal.htm

Ilmu pendidikan islam

            Pendidikan islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Sumber pendidikan islam adalah semua bahan dan acuan  yang dapat dijadikan pijakan atau rujukan, atau titik tolak dalam usaha kegiatan dan pengembangan pendidikan yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan kedalam ilmu pendidikan islam[1]. Sumber Pendidikan Islam terkadang disebut juga Dasar Ideal Pendidikan Islam.Adapun sumber ilmu pendidikan islam itu adalah :

 Al-quran

            Al Quran secara harfiah berarti bacaan atau yang dibaca.Sedangkan secara istilahi adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril yang  disampaikan kepada generasi berikutnya dengan tidak diragukan.Al Quran sendiri mulai diturunkan dengan ayat-ayat pendidikan.Disini terdapat isyarat bahwa tujuan terpenting al-quran adalah mendidik manusia dengan metode memantulkan, mengajak, menelaah, membaca belajar dan observasi ilmiah tentang penciptaan manusia , alam, dan ilmu pengetahuan. Alquran sendiri terdiri daridua prinsip besar yang berhubungan dengan masalah keimanan  yang disebut Aqidah dan yang berhubungan dengan amal disebut Syariah.Beberapa ahli seperti Abdurrahman Saleh Abdullah menulis buku tentang Educational Theory Quranic Outlook dan Abudin Nata Tafsir Al-ayat al-tarbawiy.Didalam buku-buku tersebut terdapat uraian yang mendalam dan lengkap tentang ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan berbagai aspek pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan islam harus menggunakan Alquran sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan islam sesuai dengan perubahan dan pembaharuan[2]

 As-sunah

            As Sunnah menurut para Ahli hadis adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan,perbuatan,persetujuan,sifat fisik atau budi,atau biografi ,baik pada masa Nabi sebelum kenabian maupun sesudahnya[3].Adapun pendapat lainnya yaitu as sunnah adalah sebuah pengakuan yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh rasulallah dan beliau membiarkan saja perbuatan atau kejadian itu berjalan. Assunah berisi tentang pedoman hidup untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspek untuk membina umat muslim yang bertakwa. Berfungsi untuk menjelaskan kandungan alquran dan juga menerangkan syariat dan adab lainnya. Maka dari pada itu sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang.

.      Landasan dasar  pendidikan islam

            Landasan dasar  pendidikan islam dibagi dua yaitu landasan dasar  ideal dan landasan dasar operasional.

 

1)      Landasan dasar ideal

Yaitu landasan yang menjadi dasar pokok pendidikan islam yaitu alquran dan assunah yang kemudian dikembangkan menjadi atsar sahabat,ijtihad dan ijma  ulama.

  • Undang-undang Pendidikan dan Tradisi Adat

Undang-undang disini juga dapat diartikan sebagai perarturan hukum yang tidak disebutkan secara tegas didalam Al Quran Namun dalam praktiknya,undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah dan tentunya bertujuan untuk kemaslahatan umat tanpa adanmya diskriminasi.

Sedangkan tentang tradisi dan adat yang dapat dijadikan sumber ilmu pendidikan islamyang tentunya juga tidak bertentangan dengan nash Al Quran dan tidak menyebabkan pertentangan kedurhakaan,kemudaratan.Dapat mengambil bentuk berbagai kebijakan atau tradisi tentang penyelenggaraan pendidikan.[4]

2)      Landasan dasar operasional

Yaitu implementasi dari landasan dasar ideal. Landasan ini dibagi atas empat  macam, yaitu:

  • Landasan historis

Kondisi pendidikan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dalam bidang pendidikan, kondisi social, budaya dan keyakinan yang ada pada masa lalusejarah penuh dengan muatan nilai-nilai positif baik yang relevan maupun tidak relevan dengan kehidupan generasi sekarang, disamping itu sejarah mengandung nilai-nilai yang negative namun dalam hal ini cukup dijadikan pelajaran, oleh sebab itu aspek sejarah tidak kalah penting dalam meletakkan dasar pendidikan saat ini.

  • Landasan social

Pendidikan merupakan interaksi manusia yang hanya bisa berjalan melalui jaringan kemanusiaan.Menurut H.J. langeveld menjelaskan bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah homohominisocius.Kondisi masyarakat yang dinamis dan statis umumnya mempengaruhi kondisi pendidikan masyarakatnya.Maka, visi dan misi pendidikan adalah membebaskan manusia dari kungkungan penindasan, menggerakkan manusia untuk hidup merdeka dan bebas mewujudkan hidup yang damai dan harmonis.

 Landasan psikologis

Pendidikan melibatkan dua aspek psikologi yaitu aspek mengajar dan belajar.Hubungan psikologi dan pendidikan berhubungan dengan metode tujuan dan materi yang digunakan.

  • Landasan filosofis

Merupakan landasan yang bersumber pada pandangan hidup manusia yang paling mendasar.landasan filosofi mengandung nilai-nilai yang bersumber dari tuhan dan manusia (humanisme-teosentris).

 

  1. c.       Prinsip-prinsip pendidikan islam

Yang dimaksud dengan prinsip pendidikam islam adalah kebenaran yang dijadikan pokok dasar dalam merumuskan dan melaksanakan pendidikan islam[5].

ü  Prinsip integrasi(tauhid), prinsip ini memandang adanya wujud kesatauan dunia dan akhirat, oleh karena itu pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai keseimbangan dunia dan akhirat

ü  Prinsip keseimbangan adalah merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi. Keseimbangan yang proporsional antara muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan, teori dan praktek dan nilai-nilai yang menyangkut tentang akidah syariah dan akhlak.

ü  Prinsip kesetaraaan , prinsip ini menekankan agar  di dalam pendidikan islam tidak terdapat ketidakadilan perlakuan,atau diskriminasi.Tanpa membedakan suku,ras,jenis kelamin,status social,latar belakang dsb, karena semua makhluk hidup diciptakan oleh tuhan yang sama,Allah SWT.

ü  Prinsip Pembaharuan

Prinsip pembaharuan merupakan perubahan baru dan kualitatif yang berbeda dari hal sebelumnya. Serta diupayakan untukmeningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu pendidikan.Menurut H.M Arifin,dalam proses pembaharuan umat islam harus mampu menciptakan model-model pendidikan yang dapat menyentuh beberapa aspek yaitu: yang mampu mengembangkan agent of technology and culture.

ü  Prinsip Demokrasi

Berasal dari kata demos: rakyat,cratein : pemerintah,prinsip pendidikan ini mengidealkan adanya partisipasi dan inisiatif yang penuh dari masyarakat.Segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pendidikan seperti srana dan prasarana,infrastruktur,administrasi,penggunaan sarjana dan sumber daya manusia lainnya hanya akan dapat diperoleh dari masyarakat.

Prinsip pendidikan yang berbasis masyarakat ini sejalan dengan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah,orang tua dan masyarakat.

ü  Prinsip Kesinambungan

Prinsip yang saling menghubungkan antara berbagai tingkat dan program pendidikan.

ü  Prinsip Pendidikan Seumur Hidup (Long Life Education),menjelaskan bahwasanya agar setiap orang dapat terus belajar dan meningkatkan dirinya sepanjang hidupnya.Tidak pernah lelah untuk menuntut ilmu,dengan alasan ilmu dan pengetahuan itu selalu mengalami perkembangan,pembaharuan dan pergantian.

ü  Perbedaan antara Sumber Pendidikan Islam dan Sekuler

Sekuler menurut kamus ilmiah popular artinya adalah bersifat kebendaan.

George Holyoake, seorang penulis Inggris yang pertama kali menggunakan istilah sekularisme pada tahun 1846. Menurut Holyoake, “Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion or supranaturalism; sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme.

Asal kata secular itu sendiri, mengutip penjelasan Syed M. Naquib al-Attas, berasal dari bahasa latinsaeculum yang berarti ruang dan waktu. Secular dalam pengertian ruang bermakna ‘dunia’ atau ‘duniawi’, sedang secular dalam pengertian waktu bermakna ‘sekarang’ atau ‘kini’. Jadi secular/saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dan itu merujuk pada ‘peristiwa di dunia ini’, sehingga makna lengkapnya ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa makna sekular itu adalah ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’.

Dalam pandangan Syed M. Naquib al-Attas, pembenaran terhadap sekularisme seperti yang telah ditempuh oleh kelompok Islam Progresif di atas berpangkal pada tidak dipahaminya worldview (pandangan hidup/dunia) Barat dan Islam.Dalih mereka dalam membenarkan sekularisme malah semakin memperjelas keterpedayaan mereka oleh worldview Barat sebagai akibat dari ketidakkritisan mereka terhadapnya, untuk tidak dikatakan secara vulgar telah “ter-Barat-kan”.

Sekularisme, sebagaimana diakui oleh mereka, sebenarnya terjadi pada peradaban Barat yang beragama Kristen.Hal itu sangat dimungkinkan karena agama Kristen waktu itu sudah menjadi agama yang mencampuradukkan tradisi Yahudi dan Yunani-Romawi. Agama yang semula berdasar pada wahyu tersebut saat itu sudah bercampur dengan tradisi magis dan mitos.Sehingga agama tersebut selalu terikat dengan ruang dean waktu.Berbeda dengan Al Quran da Sunnah Nabi yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai aqidah dan syariat islam dan tidak dapat diganggu gugat lagi.Bahkan dalam Al Quran telah dijelaskan tentang ilmu pengetahuan,ilmiah dan tentang alam semesta jauh sebelum manusia menemukan hal-hal tersebut.

n uraian dan pemaparan diatas  dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sumber adalah bahan dan acuan  yang dapat dijadikan pijakan atau rujukan, atau titik tolak dalam usaha kegiatan dan pengembangan pendidikan yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan kedalam ilmu pendidikan islam.  

Sumber yang utama adalah Al Quran dan As Sunnah sedangkan sumber yang sekunder berasal dari sejarah,atsar sahabat serta ijtihad dan ijma’ ulama.Sedangkan dewasa ini kita mengenal adanya Undang-undang Pendidikan.

Prinsip ilmu pendidikan islam adalah nilai-nilai pokok yang dipegang teguh dan digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan islam.Sehingga terjadi keterkaitan antara semua prinsip yang telah disebutkan diatas.Dimulai dari pendidikan yang mengutamakan ketauhidan dan berhubungan dengan Ilahiyah sehingga dengan pendidikan pula terjadi adanya keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.

Kemudian tentang prinsip pendidikan yang setara untuk setiap umat tanpa adanya diskriminasi dan berbasis kemasyarakatan atau demokratis maka dapat terwujudnya sebuah pemikiran pembaharuan pendidikan islam karena pada hakikatnya ilmu dan pengetahuan selalu berkembang dan menga;ami pembaharuan.Namun tetap berpegang teguh pada kemaslahatan umat islam.Oleh karenanya,pendidikan dilakukan sepanjang hidup kita.

 

 


[1] Lihat Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir,Ilmu Pendidikan Islam,Loc.cit.,hlm.31

[2] Blog.re.or.id/pendidikan-islam-indonesia-htm

[3] Muhammad Adib Sholeh ,Lamhat fi ushul Al-Hadits,(Beirut:Al Maktabah Al Islamy,1399 H),cet ke-1,hlm.20

[4]Lihat Mahmod Qombar ,al Tarbiyah al islamiyah al Turasiyah ,jilid 1(Mesir: Dar al-syuruq,1989),cet.ke 1,hlm 87-89)

[5] Nata Abudin,Ilmu Pendidikan Islam.cet ke 1 hlm 102